Sumber Foto : Koleksi Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Sumatera Utara

BUKU DAN BUDAYA BACA MASYARAKAT INDONESIA

Tanggal 17 Mei ditetapkan sebagai “Hari Buku Nasional” bertepatan dengan berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada tanggal 17 Mei 1980. Hari Buku Nasional pertama kali dicetuskan oleh Menteri Pendidikan Nasional, Abdul Malik Fajar pada Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 17 Mei 2002 dalam rangka meningkatkan budaya baca dan literasi masyarakat Indonesia. Sekalipun sudah dicanangkan Hari Buku Nasional, namun budaya baca masyarakat Indonesia masih rendah. Hasil survei UNESCO (United National Educational, Scientific and Cultural Organization) pada tahun 2012 menunjukkan bahwa angka minat baca anak Indonesia hanya 0,001 persen. Hasil penelitian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2017  menujukkan bahwa rata-rata orang Indonesia membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu  per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan jumlah buku yang ditamatkan  dibaca per tahun  rata-rata hanya 5-9 judul buku. Dan,  hasil penelitian Central Connecticut State Univesity (CCSU)  pada Maret 2016 merilis bahwa budaya literasi Indonesia berada pada tingkat kedua terbawah, yaitu peringkat ke-60 dari 61 negara, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61)

A. Pendahuluan

     Dalam khazanah budaya Indonesia buku dikenal pula dengan sebutan kitab, yang diartikan lembaran kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong. Ungkapan tersebut wajar karena bangsa Indonesia mengenal istilah buku setelah ditemukan kertas dan mesin cetak. Dalam sejarah peradaban umat manusia, bangsa di dunia yang pertama kali mengenal istilah buku adalah bangsa Mesir Kuno pada tahun 2400-an Sebelum Masehi, setelah orang Mesir Kuno menciptkan kertas papirus. Kertas papirus yang berisi tulisan tersebut digulung dalam bentuk gulungan, itulah merupakan bentuk buku pertama. Papirus sendiri adalah bahan menyerupai kertas tebal yang digunakan tempat menulis yang tumbuh melimpah di Delta Sungai Nil.

 

     Dalam perkembangan selanjutnya, buku dalam bentuk kertas, baru dikenal setelah orang Tiongkok menciptakan kertas pada 200-an Sebelum Masehi dari bahan dasar bambu oleh Ts’ai Lun pada zaman Dinasti Han. Muhajir Affandi (2018), dalam bukunya, Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan, menyebutkan bahwa kertas yang ditemukan oleh bangsa China pada tahun 105 Masehi yang lalu adalah kertas yang kita kenal hingga sekarang. Kertas itu terbuat dari serat bambu yang dihaluskan, disaring, dicuci, kemudian diratakan, dan dikeringkan. Mengutip buku “Mengenal Penemu Sains dan Penemunya, karya Juwita  Ratnasari (2007), bahwa kertas ini ditemukan pada masa Kaisar Ho-Ti dari Dinasti Han. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya industri kertas semakin berkembang setelah ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg, berkebangsaan Jerman pada tahun 1450 Masehi.

 

     Di Indonesia percetakan buku semakin berkembang, setelah berdiri PT Pabrik Kertas Indonesia, yang lebih dikenal dengan sebutan PT Pakerin pada tahun 1977. Pabrik ini berlokasi di Pungging, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. PT Pakerin ini mampu memproduksi jenis kertas kraft, medium, dan duplex 700.000 ton pertahun. Selain PT Pakerin, kita juga mengenal PT Indah Kiat Pulp & Paper TBk, PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia TBk, Pt Indo Deli Pulp and Paper Mills, PT Lontar Payrus Pulp & Paper Industry, PT Ekamas Fortuna, PT Oki Pulp & Paper Mills, PT The Univenus, dan PT Kreasi Kotakmegah.

 

B. Buku

     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) buku diartikan sekumpulan kertas yang terjilid, dalam lembaran kertas yang berisikan tulisan maupun kosong. Dalam KBBI tersebut buku juga diartikan merupakan kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijadikan satu dapat berupa tulisan ataupun gambar. Lalu bagaimana menurut para ahli tentang buku ? Kurniasih (2014) mengartikan buku sebagai hasil pemikiran yang dianalisis menjadi ilmu pengetahuan kemudian disusun tertulis menggunakan bahasa yang sederhana, dilengkapi gambar dan daftar pustaka. Menurut Sitepu (2012:8) buku adalah kumpulan kertas berisi informasi, tercetak, disusun secara sistematis, dijilid serta bagian luarnya diberi pelindung terbuat dari kertas tebal, karton atau bahan lain.

 

     Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan pada Bab 1 pasal 1 butir 2 dikatakan bahwa buku adalah karya tulis dan/atau karya gambar yang diterbitkan berupa cetakan berjilid atau berupa publikasi elektronik yang diterbitkan secara tidak berkala. Sedangkan menurut UNESCO (1964) buku adalah terbitan tercetak  tidak berkala, berjumlah paling sedikit 49 halaman tidak termasuk halaman kulit.

 

C. Hari Buku Nasional

     Dalam klausul dicanangkannya “Hari Buku Nasional” yang dalam bahasa Inggrisnya disebut National Book Day pada tanggal 17 Mei 2002 adalah dalam rangka meningkatkan budaya baca dan literasi masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah. Dipilihnya tanggal 17 Mei berkaitan dengan sejarah berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada tanggal 17 Mei 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Jusuf dan setiap tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Ide pencetusan hari buku ini pertama kali digaungkan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada era kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri, yaitu Abdul Malik Fajar yang sadar benar bahwa budaya baca dan literasi masyarakat Indonesia perlu didorong dan ditingkatkan agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah maju.

 

     Dilihat dari historisnya bahwa pencananganHari Buku Nasional sudah memasuki tahun ke-22. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya untuk meningkatkan budaya baca dan literasi masyarakat dengan menggaungkan slogan, seperti “ happy national book day. To day a reader tomorrow a leader” selamat hari buku nasional, hari kita sebagai pembaca, besok sebagai pemimpin. Good books don’t gove up all their secret sat once, buku yang bagus tidak memberi tahu semua rahasianya sekaligus. Reading is an effort to resist the lazy and missed way, membaca adalah usaha keras untuk melawan rasa malas dan ketinggalan jauh. Reading takes you in another world, membaca membawamu dalam dunia yang lebih luas. With the book we think global act local, dengan buku kita berpikir global bertindak lokal.

 

D. Budaya Baca

     Budaya baca merupakan terminologi yang sering kita dengar dan baca baik melalui media cetak maupun media elektronik. Lantas apa yang dimasud budaya baca? Dilihat dari susunan morfologinya istilah budaya baca terdiri atas 2 kata, yaitu budaya dan baca. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat halaman 214-215 (2008), budaya diartikan 1. Pikirian, akal budi, 2. Adat istiadat. Sedangkan pengertian baca pada halaman 109-110 pada kamus yang sama disebutkan baca adalah mengeja huruf, tulisan dan sebagainya. Jadi kalau dijadikan kata verbal aktif, membaca adalah melihat serta memahami isi apa yang tertulis. Dengan demikian secara leksikal budaya baca adalah prilaku manusia yang menyangkut pikiran dan akal budi yang sudah mentradisi dalam hal membaca apa yang tersurat dan yang tersirat.

 

Adapun menurut para ahli, misal menurut Rozin, dalam Hasanah (2014 :5) budaya baca adalah kegiatan positif rutin yang baik dilakukan untuk melatih otak untuk menyerap segala informasi yang terbaik diterima seseorang dalam kondisi dan waktu tertentu. KemudianSutarno (2006 : 27) mengartikan budaya baca sebagai suatu sikapdan tindakan atau perbuatan untuk membaca yang dilakukan secara teratur dan berkelanjutan. Muhammad Syarif Bando, Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, pada 4 Maret 2021 lebih jauh mengartikan budaya baca dengan menekkan pada pengertian budaya literasi, yang menyangkut 4 aspek, yaitu :

  1. Kemampuan mengakses terhadap sumber-sumber bahan bacaan yang terpercaya, terlengkap dan terkini.
  2. Kemampuan memahami apa yang tersirat dan yang tersurat.
  3. Kemampuan mengemukakan ide atau gagasan baru, inovasi baru, kreaktivitas baru hingga memiliki kemampuan menganalisis informasi.
  4. Kemampuan menciptakan barang dan jasa yang bermutu dalam kompetisi global.

 

E. Benarkah Budaya Baca Masih Rendah ?

     Pada Abstrak di atas, sudah disebutkan bahwa ada 3 (tiga) hasil penelitian baik berskala nasional maupun internastional yang menyebutkan bahwa budaya baca masyarakat Indonesia masih rendah. Indikatornya bahwa outputmasyarakat Indonesia dalam hal budaya baca pertama, 1.000 (seribu) orang banding 1 (satu) orang. Artinya per seribu penduduk Indonesia hanya 1 (satu) orang yang mempunyai kegemaran membaca. Kedua, per tahun rata-rata orang Indonesia hanya menamatkan bahan bacaan 5-9 judul buku.

 

     Indikator tersebut juga banyak didukung oleh lembaga survei yang konsen tentang budaya baca masyarakat Indonesia. Misal, hasil penelitian Central  Connecticut State Univesity (CCSU)pada Maret 2016 merilis hasil penelitiannya bahwa dalam hal budaya literasi, Indonesia berada pada tingkat kedua terbawah, yaitu peringkat ke-60dari 61 negara, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal dari segi penilaian insfrastruktur, justru untuk mendukung budaya baca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Kemudian juga hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan  Organation for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada tahun 2015 menginformasikan bahwa indonesia berada pada peringkat ke-62 dari 70 negara. Dalam penelitian tersebut respoden yang dijadikan sampel adalah anak sekolah usia 15 tahun dengan sampel 540.000 orang.

 

     Pada tahun 2012, BPS (Badan Pusat Statistik) melakukan survei tentang minat baca masyarakat Indonesia dan budaya tonton. Dari hasil survei tersebut menunjukkan bahwa hanya 17,66 % anak-anak Indonesia yang memiliki minat baca. Sementara yang memilkiminat menonton mencapai 91,67 %. Indikator ini yang suatu saat dijadikan referensi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden ke-6 yang pada suatu kesempatan beliau mengatakan bahwa budaya baca tulis masyarakat Indonesia masih rendah, sementara budaya tonton dan ngomong sangat tinggi. Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2019 BPS mengadakan survei lagi, hasilnya menunjukkan data paradoks, yaitu bahwa tingkat melek huruf masyarakat Indonesia sudah berada di atas 98 % dengan catatan mampu membaca secara leterek, akan tetapi rendah dalam hal minat baca.

 

     Kemudian bagaimana pula dengan hasil surveiProgram for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 yang dirilis oleh Organation for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada tahun 2019 menunjukkan ada peningkatan, yaitu Indonesia berada pada posisi dari bawah alias peringkat ke-74 dari 79 negara dalam kategori kemampuan membaca. Artinya, dalam rentang 2 tahun kemudian angka itu tidak menunjukkan kemajuan yang berarti.

 

     Lantas pertanyaan yang muncul, apakah benar pendapat yang dikemukan oleh Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bahwa, Mohammad Syarif Bando bahwa yang rendah bukan minatnya, yang kurang bukan budayanya, tetapi karena minimnya akses bacaan yang berkualitas, sehingga menyebabkan budaya baca masyarakat Indonesia masih rendah. Filosopinya adalah faktor penyebab. Bisa jadi, kerangka berpikir Kepala Perpustakaan Nasional tersebut lebih berorientasi pada faktor eksternal dan teori kasualitas. Karena dalam tataran pragmatis minat baca seseorang sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal serta hukum kausalitas. Akan tetapi, dalam proses internalisasidan sosialisasi seseorang faktor internal lebih dominan dan determinatif.

 

Dalam aspek kultural dan struktural banyak penyebab masih rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia.Dalam perspektif Tunggul Harwanto, pendiri Yayasan Rumah Literasi Indonesia ada beberapa faktor yang menyebabkan budaya baca masyarakat indonesia masih rendah :

  1. Kurangnya dukungan atau keterlibatan  keluarga Indonesia dalam membangun budaya baca di rumah, sehingga anak-anak Indonesia secara dini tidak terbiasa menjadikan buku sebagai  bahan rujukan dalam mencari informasi.
  2. Akses buku yang berkualitas dan murah belum merata di sejumlah daerah Indonesia, sehingga anak-anak tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan  referensi buku yang beragam.
  3. Budaya baca buku tidak tentang mengelola buku di perpustakaan, sehingga dalam hal ini masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mengambil peran untuk meningkatkan ekosistem budaya baca yang produktif bagi anak-anak.
  4. Pemerintah dinilai belum mampu mengembangkan program budaya baca berbasis inklusi sosial secara intensif dan masif.

 

Akan tetapi menurut hemat penulis, bukan itu saja penyebab rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, faktor lain juga turutmempengaruhi, yaitu merebaknya serbuan gelombang globalisasi yang berbau digital, sementara pondasi budaya baca masyarakat Indonesia tidak kokoh, sehingga masyarakat gagap dan tidak siap menghadapi arus globalisasi tersebut, hingga berdampak masyarakat lebih suka memanfaatkan media sosial, berupa internet, facebook, twitter dan sebagainya daripada datang ke perpustakaan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa 60 juta orang Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital “ Emarker” memprediksikan pada tahun 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu Indonesia telah menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.

Dari uraian tersebut di atas, terlepas dari pendapat dan pandangan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Muhammad Syarif Bando, bahwa budaya baca masyarakat Indonesia masih rendah bila dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Untuk itu solusi yang harus diikhtiarkan :

  1. Memperkuat Gerakan Literasi Nasional di Indonesia  yang berbasis komunitas. Seperti contoh Komuninas Berani Baca yang didirikan pada 17 April 2018 oleh 7 orang  pemuda yang merasa resah dengan kondisi literasi bangsa Indonesia yang sangat memprihatinkan. Oleh karena itu komunitas ini telah melakukan beberapa program unggulan, di antaranya:
  1. Challenge Berani Baca untu 100 orang per bulannya dengan membudayakan membaca buku selama 15 menit per hari kemudian menuliskan review dari buku yang telah dibaca;
  2. Bedah buku bagi 100 orang yang telah menyelesaikan buku bacaan seta membuat ulasan (book review);
  3. Kolaborasi komunitas literasi, merupakan program antarkomunitas yang diharapkan dapat memperluas jaringan literasi  serta saling memberikan support terhadap pergerakan dunia literasi;
  4. Reading marathon merupakan  aktivitas membaca buku  secara langsung di cafe bagi orang yang sudah menyelesaikan bahan bacaannya;
  5. Donasi buku merupakan donasi untuk daerah tertentu;
  6. Challenge berani nulis, merupaka pengembangan  sayap gerakan literasi bagi Komunitas Berani Baca di dunia literasi pada ranah menulis.
  1. Memperkuat langkah gerak Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) di seluruh pelosok negeri. Organisasi yang didirikan di Bogor ini  pada 25 Oktober 2001 perlu diperkuat karena mempunyai visi, yaitu terciptanya masyrakat gemar membaca, masyarakat belajar, masyarakat berpengetahuan yang cerdas dan berbudaya, berdaya saing tinggi serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Mengoptimalisasikan peningkatan dan akselerasi Indeks Pengembangan Literasi Masyarakat (IPLM) dan TGM (Tingkat Kegemaran Membaca);
  3. Memperkuat pelaksanaan Undang-Undang  Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dan turunannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 secara benar dan konsekuen.

 

E. Penutup dan Kesimpulan

     Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa buku mempunyai peranan sentral dalam upaya menumbuhkembangkan budaya baca mayarakat Indonesia, yang masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah maju. Untuk itu, dengan adanya momen Hari Buku Nasional perlu menjadi perhatian dari berbagai pihak bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga tanggung jawab keluarga dan masyarakat untuk bahu membahumenggerakkan dan mengelorakan gerakan minat baca dengan melalui berbagai macam media dan bahan bacaan yang berkualitas.

Pemerintah beserta masyarakatberkewajiban untuk memperkuat pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan dengan mendirikan berbagai macam jenis perpustakaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia agar akses untuk mendapatkan bahan bacaan yang berkualitas merata di seluruh pelosok negeri dapat terwujud.

 

Dinas Perpustakaan dan Arsip
Provinsi Sumatera Utara